Laman

Minggu, 23 September 2012

Kisah Sedih Gadis Algojo Cantik Khadafi yang Tertangkap


Nisreen Mansour al Forgani, tengah, bersama teman sesama anggota milisi perempuannya
Seorang gadis algojo Khadafy, Nisreen (19 tahun), mengaku telah membantai 11 orang pemberontak. Sekarang ia diborgol di tempat tidur rumah sakit, menunggu keadilan. 
MATANYA coklat besar dan bibir laksana kuncup wawar. Wajahnya dibingkai kerudung merah jambu. Namun kaki memarnya dipasangi borgol yang kemudian diikatkan ke kaki tempat tidur. Dia adalah Nisreen Mansour al Forgani, gadis cantik berusia 19 tahun, seorang pembunuh serial dari rejim Kolonel Moammar Khadafy. 

Daily Mail, Minggu (28/8/2011), melaporkan, di sebuah kamar yang dijaga ketat di rumah sakit militer Matiga, Tripoli, Nisreen mengaku kepada media Inggris itu sehari sebelumnya bahwa ia telah mengeksekusi 11 orang tahanan yang dicurigai sebagai pemberontak pada hari-hari menjelang jatuhnya ibukota Libya itu pekan lalu. Mereka ditembak dari jarak dekat. Saya membunuh yang pertama, lalu mereka akan membawa yang berikutnya ke ruangan itu," kata Nisreen. "Dia (korban) akan melihat mayat di lantai dan tampak terkejut. Lalu saya akan menembaknya juga. Saya melakukannya dari jarak sekitar semeter." 

Nisreen Mansour al Forgani, gadis algojo Khadafy, sedang dirawat disebuah rumah sakit yang dijaga ketat tentara pemberontak Libya
Ia hanya salah satu dari ribuan remaja perempuan dan perempuan muda yang direkrut milisi khusus perempuan Khadafy. Kini ia menjadi tawanan pemberontak dan takut hidupnya akan segera tamat. Menurut Daily Mail, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukannya, mustahil untuk tidak merasa kasihan padanya. Nisreen menyatakan -dan para dokternya, bahkan sejumlah tentara pemberontak percaya padanya- bahwa ia harus menembak di bawah tekanan besar. Dia juga mengaku telah mengalami pelecehan seksual oleh tokoh-tokoh militer senior, salah satunya komandan brigade elite Tripoli yang bertugas melindungi Khadafy. "Saya telah katakan kepada mereka (para pemberontak) apa yang saya lakukan," ungkapnya. "Mereka marah. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya sekarang." 

Bagaimana bisa perempuan muda itu, yang dulu tinggal bersama ibunya di Tripoli dan menikmati musik dansa, menjadi sedemikian berlumuran darah tanganya? 

Nisreen mengatakan, keluarganya bukan pendukung rejim Khadafy, meskipun sulit untuk memverifikasi hal itu pasca-pembebasan Tripoli. Orangtuanya berpisah ketika ia masih kecil. Nisreen tidak menyukai istri baru ayahnya. Ia memilih tinggal bersama ibunya. Salah seorang teman ibunya, seorang perempuan bernama Fatma al Dreby, merupakan pemimpin cabang milisi perempuan Pengawal Rakyat Khadafy. Tampaknya, hubungan dengan Fatma itu merupakan faktor yang menentukan. 

Tahun lalu, Nisreen meninggalkan kuliahnya dengan maksud bisa merawat ibunya yang menderita kanker. Yang kemudian terjadi, Fatma merekrut dia sebagai Garda Rakyat. Keluarganya protes, tetapi Fatma tidak goyah. Nisreen yang masih muda dan cantik merupakan tipe yang mereka inginkan. "Ada sekitar 1.000 perempuan dari seluruh Libya," kenang Nisreen tentang kamp pelatihan mereka di Tripoli. "Saya di sana bersama seorang gadis bernama Faten, yang saya kenal di perguruan tinggi." 

Para peserta dilatih cara menggunakan senjata, dan Nisreen dilatih sebagai penembak jitu. Pada awal pecahnya protes rakyat pada Februari lalu, dua gadis itu ditempatkan milisi di sebuah rumah mobil di dekat bandara Tripoli. Tugas utama mereka termasuk menjaga pos-pos pemeriksaan di sekitar kota. Unit mereka bermarkas di Brigade 77, bersebelahan dengan kompleks perumahan Khadafy di Bab Al-Azizya. Namun Nisreen mengatakan, dia hanya sekali melihat diktator itu, ketika konvoi Khadafy melintasi pos jaganya. 

Fatma pendukung fanatik rejim Khadafy, kata Nisreen. "Dia mengatakan kepada saya, jika ibu saya mengatakan sesuatu yang melawan Khadafy, saya harus segera membunuhnya. Jika saya mengatakan sesuatu tentang pemimpin (Khadafy) yang ia tidak suka, saya akan dipukul dan dikunci di kamarku. Dia juga mengatakan kepada kami, jika pemberontak datang, mereka akan memperkosa kami." 

Itu hanya sepenggal aksi manipulasi seorang pemimpin milisi yang tak tahu malu, yang menurut Nisreen, merupakan germo yang menyediakan perempuan milisi bagi kepuasan seksual seorang rekan seniornya, seorang laki-laki. "Fatma punya kantor di markas Brigade 77. Ada sebuah kamar yang dilengkapi tempat tidur di kantor itu. Suatu hari, dia (Fatma) memanggil saya dan menempatkan saya di ruangan itu sendirian. Mansour Dau, komandan Brigade 77, kemudian masuk dan menutup pintu." Di situ Dau memerkosa Nisreen. 

"Setelah itu selesai, Fatma mengatakan kepada saya untuk tidak memberitahu siapa pun, bahkan tidak juga orang tua saya," kata Nisreen. "Setiap kali Mansour datang ke markas, dia disediakan gadis yang lain oleh Fatma. Sebagai imbalan, Fatma diberikan hadiah." 

Nisreen mengatakan, dirinya kemudian diperkosa putra Mansour, Ibrahim, yang juga seorang perwira brigade, serta kerabat lain komandan militer itu, yang disebut bernama Noury Saad. Menurut Nisreen, hal secama itu terjadi pada banyak gadis yang dia kenal di milisi itu. Ketika rejim Khadafy mulai ambruk, pelanggaran justru meningkat. Tragisnya, temannya, Faten, tewas dalam situasi aneh dan brutal ketika pemberontak mendekati Tripoli bulan lalu. Ketika itu, kedua gadis itu berada di sebuah pos pemeriksaan dekat kompleks Bab Al-Azizya saat putra Khadafy, Saif Al-Islam, tiba dengan rombongan. "Saif mengenakan rompi antipeluru, helm dan kacamata penerbang," kenang Nisreen. "Faten hendak melihat lebih dekat, dan pengawal Saif menembak di kepala. Hanya karena ia terlalu dekat." 

*** 
ADA pepatah di Libya, "Penggal leherku tapi jangan biarkan seorang gadis menembak punggungku." Orang menduga, pengerahan Nisreen sebagai algojo bagi para 'pengkhianat' dimaksudkan sebagai penghinaan terakhir bagi terhukum. 

Nisreen menjelaskan, ia dibawa ke sebuah bangunan di distrik Bosleem, Tripoli. Ia lalu dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dan dipersenjata senapan AK 47. Di sana, seorang tentara perempuan kulit hitam dalam seragam biru menjaga dan mencegah dia melarikan diri. "Para tahanan pemberontak diikat dan ditaruh di bawah sebuah pohon," katanya. "Lalu satu per satu mereka dibawa ke ruangan itu. Di situ ada juga tiga relawan Khadafy bersenjata. Mereka bilang pada saya, jika saya tidak bunuh para tahanan, mereka akan bunuh saya." 

Dia mulai menangis. "Beberapa dari para tahanan tampaknya telah dipukuli. Yang lain dipukul di depan saya di dalam ruangan itu. Mereka tidak berbicara. Saya tidak ingat wajah mereka, kebanyakan usianya kira-kira seusia saya." 

Dia menyeka matanya, lalu menatap luka di sikunya. "Saya coba untuk tidak membunuh mereka. Saya berbalik dan menembak tanpa melihat. Tapi kalau saya ragu-ragu, salah satu dari tentara itu akan menaikkan senjatanya dan mengarahkannya ke saya. "Saya membunuh sepuluh, mungkin 11, selama tiga hari," katanya. "Saya tidak tahu apa yang mereka telah lakukan." Nisreen meratap, "Saya tidak pernah menyakiti siapa pun sebelum pemberontakan dimulai. Dulu saya punya kehidupan normal." 

Gadis itu akhirnya lolos dengan melompat dari jendela kamar lantai dua di mana dia melaksanakan pembunuhan tersebut. Meski cedera dalam proses melompat itu dan kemudian ditabrak sebuah truk pick-up, ia berhasil keluar dari kompleks tersebut. "Saya ditemukan sejumlah orang anti-Khadafy yang kemudian membawa saya ke sebuah masjid dimana saya diberi air," katanya. "Lalu saya dibawa ke sini." 

Dua tentara berjaga-jaga di luar pintu kamar tempat dia dirawat. "Kami di sini untuk melindunginya serta untuk mencegah dia melarikan diri," kata salah seorang penjaga itu. 

Seorang perempuan yang mengenakan jas putih, mungkin dokter, memasuki ruangan. Dia mulai berbicara serius dengan Nisreen, yang langsung menangis. Perempuan itu seorang relawan medis yang datang untuk menceramahi 'gadis penembak jitu itu'. "Bagaimana mungkin hati nurani Anda membiarkan Anda membunuh orang-orang itu, hanya untuk Khadafy?" seru dia. 

Perempuan itu meninggalkan ruangan dan seorang tentara pemberontak masuk. Usianya tidak lebih tua dari Nisreen. Senapan tersandang di bahunya. Tentara muda itu bersandar di ujung ranjang dan mengobrol dengan gadis itu. "Apakah kamu berdoa?" tanyanya. "Dulu," kata Nisreem. "Pada waktu kapan kamu membunuh mereka?" "Pada pagi hari." Air mata Nisreen mulai mengalir lagi. Tentara itu berbalik kepada wartawan Daily Mail dan bertanya, "Jika seorang gadis membunuh 11 orang di negara anda, apa yang akan anda lakukan?" 

Wartawan Daily Mail bertanya, apakah ada keluarganya yang tahu dia dirawat di rumah sakit itu atau apa yang telah terjadi padanya. "Tidak," jawabnya. Dia lalu memberi nomor telepon kerabat yang masih ada di Tripoli. Daily Mail menelepon mereka dan, akhirnya, ada jawaban dari ibu tirinya.

"Saya di rumah sakit Matiga," kata Nisreen kepadanya. "Tolong, tolong datang dan jemput saya." Dia mengernyit dan berjuang melawan hambatan pada pergelangan kakinya. "Tetap diam. Jangan katakan apa pun pada mereka," begitu terdengar suara ibu tirnya di ujung telepon. Akhirnya ibu tiri dan saudara Nisreen muncul. Namun mereka hanya tengok sebentar. Mereka tidak tampak terkejut ketika melihat ada penjaga remaja bersenjata di pintu. 

Nisreen dirawat Dr Rabia Gajum, seorang psikolog anak Libya yang bekerja sukarela di rumah sakit Matiga itu. "Nisreen itu korban juga," katanya. "Kakaknya mengatakan kepada saya bahwa keluarganya mencoba untuk mengluarkannya dari markas Brigade 77, tetapi diancam tentara. Semua gadis di Garda Rakyat diperkosa. Para pria secara seksual menyerang mereka dan kemudian melatih mereka menggunakan senjata. Kami punya empat perempuan di sini sebagai pasien, semua dilatih sebagai penembak jitu seperti Nisreen. Kami beri mereka perawatan medis. Setelah itu menjadi masalah pemerintah baru tentang apa yang harus dilakukan terhadap mereka." 

Dia menambahkan, "Nisreen mengalami cedera panggul dan mengalami luka parah. Dia membutuhkan istirahat panjang di tempat tidur dan konseling psikologis. "Apa yang kami akan katakan kepada orangtuanya, saya tidak tahu. Ibunya mendapat pengobatan untuk kanker tenggorokan di Tunisia. Ayahnya sakit dan berada di kursi roda dan tidak tahu apa yang telah terjadi." 

Menurut Daily Mail, dokumen-dokumen pribadi yang ditemukan di markas Brigade 77 membuktikan bahwa Nisreen memang berada ada di sana dan dokumen-dokumen itu mendukung banyak detail yang ia ungkapkan. Namun satu-satunya bukti kekejaman di mana ia terlibat hanya datang dari bibirnya sendiri, karena distrik Bosleem masih belum diamankan pemberontak. 

Mata Nisreen indah tetapi tatapannya benar-benar kosong. Mungkin karena pengaruh shock atau obat penghilang rasa sakit atau keduanya. Namun setidaknya dia masih hidup. 

Di seberang kota itu, di rumah sakit di kawasan Abu Salim, tempat horor terjadi pada akhir pekan ini, sejumlah mayat ditinggalkan membusuk di bawah sinar matahari. Orang harus mengenakan respirator sebagai satu-satunya cara untuk bisa bertahan saat berjalan di antara orang-orang mati itu. Di antara mayat-mayat yang membusuk dan penuh lalat itu terdapat sejumlah kartu identitas. Dua dari mereka diketahui bernama Mahaamat Cherif (21 tahun) dari Chad dan Saidou Massatchi (31 tahun) dari Niger. Mereka tidak akan pulang ke rumah. Tidak seperti Nisreen, mereka bahkan tidak bisa menjelaskan mengapa mereka berjuang untuk Khadafy. 


sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar