Laman

Jumat, 26 Februari 2016

Berdiri Tanpa Kata (Cerpen)


Selamat malam gaes! Lama ngga ngepos ni, banyak kesibukan hehe. Langsung aja yaa, awalnya sebenernya cuma tugas buat cerpen Bahasa Indonesia biasa, malah awalnya males-malesan gitu, tapi habis garap satu-dua paragraf malah keasyikan sampe di bela-belain nggarap pake Kingsoft Office di smartphone haha :D . Habis dikumpulin ke guru aku kira bakal dapet nilai minimum krn belum di revisi ulang plus ada beberapa paragraf yang ilang (karena kesalahan saving dari Kingsoft Office ke Microsoft Word). Eh, taunya malah dapet nilai tertinggi se-paralel kelas 12 dan dicurigai ngambil dari web -_- haha yasudahlah tak apa, yang penting cerpen ini 100% original buatanku sendiri :) 
Ni yg aku pos disini versi aslinya, yg versi pasca edit ada di harddisk ku yg entah ada dimana ._. Enjoy it :))  



Berdiri Tanpa Kata

            “Glory-Glory Manchester United..! Glory-Glory Manchester United..!”     
Sebuah chant merdu nan indah membahana dari sebuah tempat. Pada sudut barat tempat itu terdapat tulisan ‘Sir Alex Ferguson Stand’. Tepat di seberangnya, dengan  gagahnya tulisan ‘Stretford End’ terpampang. Bukan, ini bukan Old Trafford. Tempat ini merupakan kamar tidur yang di desain sedemikian rupa oleh sang pemilik agar menyerupai kandang tim sepakbola Inggris, Manchester United itu. Fanatisme si empunya kamar akan MU terlihat dari segala pernak-pernik yang ada di kamar tersebut. Mulai dari wallpaper hingga saklar listrik, semuanya tentang MU. Warna merah darah kepunyaan tim berjuluk Setan Merah ini juga terlihat mendominasi kamar berukuran 5 x 5 meter ini. Sang pemilik kamar ini benar-benar telah kena virus gila bola, ‘gila’ dalam arti sesungguhnya.  
            Setelah beberapa menit senyap, chant yang sama kembali terulang dan kali ini lebih keras. Rupanya lantunan tersebut merupakan alarm yang meraung-raung dari sebuah smartphone. Si pemilik rupanya merasa terganggu  dengan suara yang ditimbulkan ponsel pintarnya itu. Dengan malas, ia melirik sekilas pada gawainya itu, lalu memencet tombol snooze yang entah sudah berapa kali ia tekan, 11 kali mungkin. Sang pemalas ini bernama Andrea Sembiring, akrab dipanggil Dre
Setelah lima menit berlalu, alarm kembali berbunyi. Dre naik pitam dan membanting ponselnya. Gawai tak berdosa itu pun menyerah dan terpaksa tewas karena baterainya sudah terpisah dari badannya. Sadis. Don’t try this at home.
“Berisik amat ah alarmnya! Nggak tau apa habis begadang?” gerutunya sambil menarik selimut, hendak melanjutkan mimpi indah
“Eh, emang jam berapa sekarang? Hah jam 06.55!” seru Dre sambil melihat jam seraya bangkit secara paksa dari peraduannya.
Dre berguling ke samping kasur untuk duduk. Namun sial, putarannya tidak mencapai 360 derajat sempurna dan membuatnya jatuh dengan mengenaskan di samping ranjang.
“Huh, dasar ranjang kekecilan!” sungutnya sembari memegang pantatnya yang nyeri
O ya, Dre merupakan tipe orang yang tidak pernah dan tidak mau disalahkan. Bagaimanapun kondisinya, orang lain (atau dalam kasus ini, objek lain) yang salah, bukan dia.
Dua bola mata birunya yang indah mengerjap-ngerjap dengan cepat senada dengan kesadaran yang secepat kilat memasuki tubuhnya. Walau tanpa kesadaran penuhnya, pemuda ini segera berlari ke kamar mandi yang ada di seberang kamarnya. Tidak jauh memang, hanya sekitar lima langkah, namun karena memang dasarnya belum ‘bangun’ , Dre terantuk tempat sampah dan sukses membuatnya terguling-guling di lantai sambil meringis kesakitan (lagi). Benar-benar bukan cara yang baik untuk memulai hari.
Seselesainya urusan dengan kebersihan diri, jam menunjukkan pukul 07.04. Andrea asal memasukkan buku sekenanya dan segera melesat ke garasi. Saat melewati ruang makan, ia melihat mamanya sedang menyiapkan sarapan.
“Mas, ayo makan dulu. Ini barusan Mama bikinin oseng jengkol
kesenanganmu,” sambut Mama Dre begitu putranya itu sampai di meja makan.
“Aku dah telat, Ma. Minum susu aja ya. Nanti osengnya sisain buat makan
malem aja. Berangkat dulu ya, Ma!”  ucapnya sembari menenggak susu langsung dari wadahnya dan segera meluncur ke garasi
Mama Dre hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan putra semata wayangya itu, dan geleng-geleng itu belum berakhir tatkala melihat Papa Dre yang baru keluar dari kamar. Baru bangun.
“Pah, itu anakmu kelakuannya makin hari makin nggak bener aja,” keluh
Mama Dre sambil duduk di samping suaminya yang masih mengumpulkan nyawa
            “Hmm?” jawab Papa Dre, sebuah jawaban standar para pengumpul nyawa
            “Itu lhoo, si Andrea, masa jam 07.06 baru beangkat? Padahal bel masuknya kan jam 07.15”
            “Hah, sekarang udah jam 07.06? Papa ada meeting jam 07.20!” sahut Papa Dre sambil berlari menuju kamar mandi
            “Ealah, keturunan toh ternyata,” gumam Mama Dre
            Sementara itu di jalan, seonggok motor Astrea Prima 100 cc lawas meliuk-liuk dengan lincahnya. Sang pengemudi nampak tidak peduli dengan rambu-rambu yang berlaku di jalan. Sudah tak terhitung banyaknya lampu merah yang ia terabas. Bahkan dengan nekat ia melawan arus di jalan satu arah. Wajar, jarak dari rumahnya ke sekolah tidak kurang dari 9 km dan ia baru berangkat dari rumahnya jam 07.06. Ya, pengemudi gila itu adalah Dre. Ia sedang kesurupan kampiun MotoGp tujuh kali, Valentino Rossi.
Kuda besi keluaran 1989 yang sepatutnya tidak dikemudikan lebih dari 50 km/jam itu, digeber dengan kecepatan hingga 100 km/jam. Tinggal tunggu waktu bagi mur, baut, busi, stang, hingga sadelnya untuk rontok satu persatu. Namun, di detik-detik kritis, Tuhan membuktikan ucapan-Nya yang mengatakan bahwa Dia tidak menguji hamba-Nya diluar kemampuannya. Tepat disaat murnya hendak meloncat mencium aspal, Dre mendadak menghentikan laju motornya, rupanya ia telah sampai di sekolahnya, SMA Kebangsaan. Salah satu sekolah terbaik sekaligus terluas di kota gudeg ini.
Akan tetapi rupanya kesialan belum mau pergi dari Dre. Ia sampai pas disaat bait terakhir lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Hal itu hanya berarti satu hal, gerbang akan ditutup sampai jam kedua dimulai. Padahal Dre sudah berencana akan melanjutkan mimpi indahnya di jam pertama, yakni pelajaran Bahasa Inggris yang gurunya tak acuh dengan kegiatan murid-muridnya saat ia mengajar. Pernah satu kali Dre ditelepon Mamanya saat pelajaran Bahasa Inggris, mengabarkan kalau hamsternya mati karena makan racun tikus, guru itu cuek saja dan tetap mengajar meski diiringi tangis sesenggukan dari seorang Dre.
            Namun bukan Andrea Sembiring namanya jika habis akal. Ia melongok ke pos satpam, hendak melihat siapa yang bertugas pagi itu. Senyumnya mengembang melihat satpam ‘langganan’nya yang tampak sedang kelaparan, duduk memegangi perutnya dengan dua tangan. Tak lama kemudian suara keroncongan hebat terdengar dari pos satpam


            “Oke, Fix dia sedang kelaparan,” batin Dre seraya menyunggingkan senyum iblis
            “Paaak bukain doong!” seru Dre dari luar gerbang
            “Ah kamu lagi, udah jam segini, bisa dihukum aku kalau ketauan bukain gerbang buat kamu,”
            “Yaelah, paknya gitu amat. Kita kan pren! Aku beliin ayam geprek deh nanti!” rayu Dre
            “Ngga ah! Janji nasi ayam mu yang kemarin aja belum dipenuhi!”
            “Yaudah deh, mentahannya aja nih,” sahut Dre sembari mengeluarkan duit hijau dari sakunya. Anak ini memang turah duit.
            Mata satpam itu berbinar demi melihat uang yang sedang di genggaman Dre itu. Tanpa banyak cakap ia segera menyaut duit itu lantas membuka gerbang sekolah untuk Dre. Segera setelah ia mengunci kembali gerbang sekolah, satpam tambun itu dengan cepat melesat ke kantin sekolah. Dasar satpam jaman sekarang.
            “Pantas saja negeri ini tidak bisa lepas dari jerat korupsi. Orang penegak hukum paling rendah, satpam, aja bisa disuap hanya dengan duit ijo. Apalagi korps baju coklat yang tiap tilangan minimal kena duit biru. Ah jadi inget kemarin, kena duit merah proklamator gara-gara dianggap nerobos lampu merah, padahal ya masih kuning juga. Eh, atau sudah merah ya itu? Bodo amat deh.  Argh biadab! Bagaimana negeri ini mau maju kalau penegak hukumnya aja dengan seenak jidat memelintir ayat-ayat di UU demi dapet duit? Apa mereka nggak malu sama ayat-ayat di Kitab Suci?”
            Bukan, itu bukan pikiran seorang juara kelas atau seorang ketua kelas yang visioner. Kata-kata itu terangkai dengan sendirinya di pikiran seorang Andrea Sembiring. Dre memang terbiasa berpikir kritis karena ia merupakan salah satu andalan sekolah dalam lomba debat. Iya, Dre yang sama dengan yang tadi menerobos lampu merah dan tidak kena tilang namun sekarang malah mengeluhkan tentang polisi yang menilang dia kemarin karena kesalahan yang sama. Ternyata serba salah jadi polisi di mata Dre. Kasihan ya?


Kata-kata itu tersusun dalam pikiran Dre yang sedang dalam perjalanan menuju ruang kelasnya. Lamunannya akan korupsi buyar ketika ia sampai di depan sebuah kelas. Dengan mantap ia langkahkan kakinya memasuki ruangan di pojok sekolah itu. Beberapa saat kemudian kelas itu disergap sunyi yang mencekam, seisi kelas beserta guru yang sedang mengajar menatap lekat-lekat pada sosok yang baru masuk tanpa permisi itu. Dre bingung. Ia merasa asing dengan makhluk-makhluk di kelas ini. Setelah beberapa saat, ia melongok ke papan nama kelas dan terkejutlah ia. Tulisan “XII IPA 1” yang tertoreh pada papan itu menandakan bahwa ia salah masuk kelas. Dengan segera Dre menghambur keluar kelas diiringi gelak tawa yang membahana dari seisi kelas yang  ia tinggal barusan. Merah padam lah mukanya
Dengan napas tersengal-sengal karena habis berlari, Dre berhenti di depan sebuah kelas. Ia mendongak keatas. “XII IPA 4” tertulis di papan itu. Tak lama kemudian terdengar suara keras dari belakang kelas
“Umpan sana, gocek sini, awas ada bek. Tendang! Gol…!”
Suara itu bersumber dari teman-teman Dre yang sedang bermain video game PES 2016 di sudut kelas, padahal guru Bahasa Inggris sedang menjelaskan Explanation Text di depan kelas. Benar-benar bangsa ini sudah mengalami degradasi moral.
“Wah wah pagi-pagi dah pada nge-PES  aja kalian, gentian sini!” sahut Dre sambil merebut joystick sesaat setelah masuk kelas tanpa permisi.
“Ah kamu datang-datang main rebut aja, habis ini dah, lawan aku, ada patch baru nih!” jawab Vinicius Subejo, atau kerap dipanggil Vino.
Vino ini merupakan sahabat karib Dre sejak masuk kelas XII. Daerah peredaran dua makhluk itu selalu sama, sekolah-kantin-lapangan basket. Dimana saja ada Dre, pasti ada Vino. Mereka berdua adalah partner in crime. Seperti Batman dan Robin. Atau Si Buta dari Gua Hantu dan monyetnya.



“Eh Dre, kamu dah selesai garap PR Kimia belum? Nyonto dong! Kurang satu soal ini,” tanya Vino  
“Emang hari ini ada Kimia ya? Sebentar,” ujar Dre sembari membongkar tasnya.
Sial bagi Dre, ia tidak menemukan buku bersampul Memphis Depay, penyerang MU, yang merupakan sampul dari buku Kimia. Dengan panik ia geledah seluruh tasnya. Ternyata bukan hanya Kimia yang tidak ia bawa bukunya, buku Biologi, Bahasa Jepang, dan Agama juga luput ia bawa.
Benar saja, berbagai macam bentuk hukuman mulai dari yang bersifat akademis seperti mengerjakan 100 soal Biologi dalam satu jam, hingga yang bersifat fisik menyapu halaman belakang sekolahnga yang luasnya cukup untuk menampung 10 bis pariwisata. Ares yang banyak menimpanya itu belum ditambah Bahasa Jepang di jam terakhir. Dre tidak bisa membayangkan hukuman seperti apa yang akan diterima dari sensei-nya yang sedang hamil tua itu, mungkin disuruh menulis cerpen dengan huruf Kanji keseluruhan.
"Huh dasar curut! Guru tua aja sok-sokan ngehukum. Ngga sadar umur apa?" gerutu Dre sembari menyapu. Sekali lagi, Dre tidak pernah salah. Maha benar Dre!
"Heh, apa kamu bilang?"
Rupanya Dre tak sadar pekerjaannya itu diawasi langsung oleh guru yang diumpat Dre tadi.
"Eh, enggak kok bu, anu, tadi ada curut lewat!" sambial meringis Dre coba memelas
Namun Dre tak sadar, dibalik gorden, sepasang mata hijau zamrud nan indah mengintai dengan awas gerak-gerik dan segala tutur ucap Dre. Sang pemilik netra elok itu bernama Evelyn Ranita, atau karib disapa Rani.Nama yang indah, seindah budinya. Sejak kecil ia diajarkan orang tuanya agar berlaku jujur, apapun keadannya. Walaupun diancam akan dihempaskan ke api yang berkobar, pantang baginya sepatah kata dusta meluncur dari ucapnya

Demi melihat dan mendengar percakapan antara Dre dan gurunya, jiwa putih Rani berontak. Ia tidak terima dengan segala kebohongan yang Dre ucapkan, lebih-lebih perkataan Dre itu merendahkan martabat guru. Dengan bergegas ia berlari ke BK, hendak mengadukan hal yang baru saja ia lihat
"Huh... Curut sialan! Jadi basah keringet kan!" keluh Dre sembari menghempaskan pantatnya di kursi kelas
"Wahaha tukang kebon kita udah selesai rupanya!" sahut Vino yang kembali dari kantin
"Dre, kamu dipanggil BK"
Sekonyong-konyong tanpa mereka sadari, sudah berdiri tegak seorang siswi sambil berkacak pinggang, sambil menyungging senyum sinis penuh makna. Ya, dia adalah Rani
Bukan sekali ini Dre dipanggil ke BK. Kebiasannya parkir di parkiran guru membuatnya kerap 'mengunjungi' ruangan yang terletak di sebelah UKS ini. Maka dengan santainya ia langkahkan kakinya ke ruang BK. Ia masih sempat menyiul-nyiulkan 'Glory-Glory Man United' chant kebanggan tim pujaannya. Namun entah kenapa ada yang berbeda dari pemanggilan kali ini. Bulu kuduknya berdiri, padahal cuaca saat itu sangat panas. Sang surya sedang berada pada di titik tertinggi orbitnya.
Begitu pintu BK dibukanya, tampak di mata Dre kedua orangtuanya sedang berbincang serius dengan guru BK. Mereka seperti tidak sadar akan kehadirannya. Setelah beberapa saat, guru BK akhirnya memutuskan sesuatu yang membuat Papa dan Mama Dre tampak begitu sedih. Perbincangan tiga manusia dewasa itu rupanya dicuri dengar oleh Dre, yang sekarang hanya tercenung diam. Kini ia hanya bisa berdiri. Tanpa kata







READ MORE - Berdiri Tanpa Kata (Cerpen)