Selamat malam gaes! Lama ngga ngepos ni, banyak kesibukan hehe. Langsung aja yaa, awalnya sebenernya cuma tugas buat cerpen Bahasa Indonesia biasa, malah awalnya males-malesan gitu, tapi habis garap satu-dua paragraf malah keasyikan sampe di bela-belain nggarap pake Kingsoft Office di smartphone haha :D . Habis dikumpulin ke guru aku kira bakal dapet nilai minimum krn belum di revisi ulang plus ada beberapa paragraf yang ilang (karena kesalahan saving dari Kingsoft Office ke Microsoft Word). Eh, taunya malah dapet nilai tertinggi se-paralel kelas 12 dan dicurigai ngambil dari web -_- haha yasudahlah tak apa, yang penting cerpen ini 100% original buatanku sendiri :)
Ni yg aku pos disini versi aslinya, yg versi pasca edit ada di harddisk ku yg entah ada dimana ._. Enjoy it :))
Berdiri Tanpa Kata
“Glory-Glory Manchester United..! Glory-Glory
Manchester United..!”
Sebuah chant merdu nan indah membahana dari
sebuah tempat. Pada sudut barat tempat itu terdapat tulisan ‘Sir Alex Ferguson Stand’. Tepat di
seberangnya, dengan gagahnya tulisan ‘Stretford End’ terpampang. Bukan, ini
bukan Old Trafford. Tempat ini
merupakan kamar tidur yang di desain sedemikian rupa oleh sang pemilik agar
menyerupai kandang tim sepakbola Inggris, Manchester United itu. Fanatisme si
empunya kamar akan MU terlihat dari segala pernak-pernik yang ada di kamar
tersebut. Mulai dari wallpaper hingga
saklar listrik, semuanya tentang MU. Warna merah darah kepunyaan tim berjuluk Setan Merah ini juga terlihat
mendominasi kamar berukuran 5 x 5 meter ini. Sang pemilik kamar ini benar-benar
telah kena virus gila bola, ‘gila’ dalam
arti sesungguhnya.
Setelah
beberapa menit senyap, chant yang
sama kembali terulang dan kali ini lebih keras. Rupanya lantunan tersebut
merupakan alarm yang meraung-raung dari sebuah smartphone. Si pemilik rupanya merasa terganggu dengan suara yang ditimbulkan ponsel
pintarnya itu. Dengan malas, ia melirik sekilas pada gawainya itu, lalu
memencet tombol snooze yang entah
sudah berapa kali ia tekan, 11 kali mungkin. Sang pemalas ini bernama Andrea
Sembiring, akrab dipanggil Dre
Setelah lima menit
berlalu, alarm kembali berbunyi. Dre naik pitam dan membanting ponselnya. Gawai
tak berdosa itu pun menyerah dan terpaksa tewas karena baterainya sudah
terpisah dari badannya. Sadis. Don’t try
this at home.
“Berisik amat ah alarmnya! Nggak tau apa habis
begadang?” gerutunya sambil menarik selimut, hendak melanjutkan mimpi indah
“Eh, emang jam berapa
sekarang? Hah jam 06.55!” seru Dre sambil melihat jam seraya bangkit secara
paksa dari peraduannya.
Dre berguling ke
samping kasur untuk duduk. Namun sial, putarannya tidak mencapai 360 derajat
sempurna dan membuatnya jatuh dengan mengenaskan di samping ranjang.
“Huh, dasar ranjang
kekecilan!” sungutnya sembari memegang pantatnya yang nyeri
O ya, Dre merupakan
tipe orang yang tidak pernah dan tidak mau disalahkan. Bagaimanapun kondisinya,
orang lain (atau dalam kasus ini, objek lain) yang salah, bukan dia.
Dua bola mata birunya
yang indah mengerjap-ngerjap dengan cepat senada dengan kesadaran yang secepat
kilat memasuki tubuhnya. Walau tanpa kesadaran penuhnya, pemuda ini segera
berlari ke kamar mandi yang ada di seberang kamarnya. Tidak jauh memang, hanya
sekitar lima langkah, namun karena memang dasarnya belum ‘bangun’ , Dre
terantuk tempat sampah dan sukses membuatnya terguling-guling di lantai sambil
meringis kesakitan (lagi). Benar-benar bukan cara yang baik untuk memulai hari.
Seselesainya urusan
dengan kebersihan diri, jam menunjukkan pukul 07.04. Andrea asal memasukkan
buku sekenanya dan segera melesat ke garasi. Saat melewati ruang makan, ia
melihat mamanya sedang menyiapkan sarapan.
“Mas,
ayo makan dulu. Ini barusan Mama bikinin oseng jengkol
kesenanganmu,” sambut Mama Dre begitu putranya
itu sampai di meja makan.
“Aku
dah telat, Ma. Minum susu aja ya. Nanti osengnya sisain buat makan
malem aja. Berangkat dulu ya, Ma!” ucapnya sembari menenggak susu langsung dari
wadahnya dan segera meluncur ke garasi
Mama Dre hanya bisa
geleng-geleng melihat kelakuan putra semata wayangya itu, dan geleng-geleng itu
belum berakhir tatkala melihat Papa Dre yang baru keluar dari kamar. Baru
bangun.
“Pah,
itu anakmu kelakuannya makin hari makin nggak bener aja,” keluh
Mama Dre sambil duduk di samping
suaminya yang masih mengumpulkan nyawa
“Hmm?”
jawab Papa Dre, sebuah jawaban standar para pengumpul nyawa
“Itu
lhoo, si Andrea, masa jam 07.06 baru beangkat? Padahal bel masuknya kan jam
07.15”
“Hah,
sekarang udah jam 07.06? Papa ada meeting
jam 07.20!” sahut Papa Dre sambil berlari menuju kamar mandi
“Ealah,
keturunan toh ternyata,” gumam Mama
Dre
Sementara
itu di jalan, seonggok motor Astrea Prima 100 cc lawas meliuk-liuk dengan
lincahnya. Sang pengemudi nampak tidak peduli dengan rambu-rambu yang berlaku
di jalan. Sudah tak terhitung banyaknya lampu merah yang ia terabas. Bahkan
dengan nekat ia melawan arus di jalan satu arah. Wajar, jarak dari rumahnya ke
sekolah tidak kurang dari 9 km dan ia baru berangkat dari rumahnya jam 07.06. Ya,
pengemudi gila itu adalah Dre. Ia sedang kesurupan kampiun MotoGp tujuh kali, Valentino Rossi.
Kuda besi keluaran 1989
yang sepatutnya tidak dikemudikan lebih dari 50 km/jam itu, digeber dengan
kecepatan hingga 100 km/jam. Tinggal tunggu waktu bagi mur, baut, busi, stang,
hingga sadelnya untuk rontok satu persatu. Namun, di detik-detik kritis, Tuhan
membuktikan ucapan-Nya yang mengatakan bahwa Dia tidak menguji hamba-Nya diluar
kemampuannya. Tepat disaat murnya hendak meloncat mencium aspal, Dre mendadak
menghentikan laju motornya, rupanya ia telah sampai di sekolahnya, SMA
Kebangsaan. Salah satu sekolah terbaik sekaligus terluas di kota gudeg ini.
Akan tetapi rupanya
kesialan belum mau pergi dari Dre. Ia sampai pas disaat bait terakhir lagu
kebangsaan ‘Indonesia
Raya’ dikumandangkan.
Hal itu hanya berarti satu hal, gerbang akan ditutup sampai jam kedua dimulai.
Padahal Dre sudah berencana akan melanjutkan mimpi indahnya di jam pertama,
yakni pelajaran Bahasa Inggris yang gurunya tak acuh dengan kegiatan
murid-muridnya saat ia mengajar. Pernah satu kali Dre ditelepon Mamanya saat
pelajaran Bahasa Inggris, mengabarkan kalau hamsternya mati karena makan racun
tikus, guru itu cuek saja dan tetap mengajar meski diiringi tangis sesenggukan
dari seorang Dre.
Namun
bukan Andrea Sembiring namanya jika habis akal. Ia melongok ke pos satpam,
hendak melihat siapa yang bertugas pagi itu. Senyumnya mengembang melihat
satpam ‘langganan’nya yang tampak sedang kelaparan, duduk memegangi perutnya
dengan dua tangan. Tak lama kemudian suara keroncongan hebat terdengar dari pos
satpam
“Oke, Fix dia sedang kelaparan,” batin Dre seraya menyunggingkan senyum
iblis
“Paaak
bukain doong!” seru Dre dari luar gerbang
“Ah
kamu lagi, udah jam segini, bisa dihukum aku kalau ketauan bukain gerbang buat
kamu,”
“Yaelah,
paknya gitu amat. Kita kan pren! Aku
beliin ayam geprek deh nanti!” rayu Dre
“Ngga
ah! Janji nasi ayam mu yang kemarin aja belum dipenuhi!”
“Yaudah
deh, mentahannya aja nih,” sahut Dre sembari mengeluarkan duit hijau dari
sakunya. Anak ini memang turah duit.
Mata
satpam itu berbinar demi melihat uang yang sedang di genggaman Dre itu. Tanpa
banyak cakap ia segera menyaut duit itu lantas membuka gerbang sekolah untuk
Dre. Segera setelah ia mengunci kembali gerbang sekolah, satpam tambun itu
dengan cepat melesat ke kantin sekolah. Dasar satpam jaman sekarang.
“Pantas saja negeri ini tidak bisa lepas dari
jerat korupsi. Orang penegak hukum paling rendah, satpam, aja bisa disuap hanya
dengan duit ijo. Apalagi korps baju coklat yang tiap tilangan minimal kena duit
biru. Ah jadi inget kemarin, kena duit merah proklamator gara-gara dianggap
nerobos lampu merah, padahal ya masih kuning juga. Eh, atau sudah merah ya itu?
Bodo amat deh. Argh biadab! Bagaimana
negeri ini mau maju kalau penegak hukumnya aja dengan seenak jidat memelintir
ayat-ayat di UU demi dapet duit? Apa mereka nggak malu sama ayat-ayat di Kitab
Suci?”
Bukan,
itu bukan pikiran seorang juara kelas atau seorang ketua kelas yang visioner.
Kata-kata itu terangkai dengan sendirinya di pikiran seorang Andrea Sembiring.
Dre memang terbiasa berpikir kritis karena ia merupakan salah satu andalan
sekolah dalam lomba debat. Iya, Dre yang sama dengan yang tadi menerobos lampu
merah dan tidak kena tilang namun sekarang malah mengeluhkan tentang polisi
yang menilang dia kemarin karena kesalahan yang sama. Ternyata serba salah jadi
polisi di mata Dre. Kasihan ya?
Kata-kata itu tersusun
dalam pikiran Dre yang sedang dalam perjalanan menuju ruang kelasnya.
Lamunannya akan korupsi buyar ketika ia sampai di depan sebuah kelas. Dengan
mantap ia langkahkan kakinya memasuki ruangan di pojok sekolah itu. Beberapa
saat kemudian kelas itu disergap sunyi yang mencekam, seisi kelas beserta guru
yang sedang mengajar menatap lekat-lekat pada sosok yang baru masuk tanpa
permisi itu. Dre bingung. Ia merasa asing dengan makhluk-makhluk di kelas ini.
Setelah beberapa saat, ia melongok ke papan nama kelas dan terkejutlah ia.
Tulisan “XII IPA 1” yang tertoreh pada papan itu menandakan bahwa ia salah
masuk kelas. Dengan segera Dre menghambur keluar kelas diiringi gelak tawa yang
membahana dari seisi kelas yang ia
tinggal barusan. Merah padam lah mukanya
Dengan napas
tersengal-sengal karena habis berlari, Dre berhenti di depan sebuah kelas. Ia
mendongak keatas. “XII IPA 4” tertulis di papan itu. Tak lama kemudian
terdengar suara keras dari belakang kelas
“Umpan sana, gocek
sini, awas ada bek. Tendang! Gol…!”
Suara itu bersumber
dari teman-teman Dre yang sedang bermain video game PES 2016 di sudut kelas, padahal guru Bahasa Inggris sedang
menjelaskan Explanation Text di depan
kelas. Benar-benar bangsa ini sudah mengalami degradasi moral.
“Wah wah pagi-pagi dah
pada nge-PES aja kalian, gentian sini!” sahut Dre sambil
merebut joystick sesaat setelah masuk
kelas tanpa permisi.
“Ah kamu datang-datang
main rebut aja, habis ini dah, lawan aku, ada patch baru nih!” jawab Vinicius Subejo, atau kerap dipanggil Vino.
Vino ini merupakan
sahabat karib Dre sejak masuk kelas XII. Daerah peredaran dua makhluk itu
selalu sama, sekolah-kantin-lapangan basket. Dimana saja ada Dre, pasti ada
Vino. Mereka berdua adalah partner in
crime. Seperti Batman dan Robin. Atau Si Buta dari Gua Hantu dan monyetnya.
“Eh Dre, kamu dah
selesai garap PR Kimia belum? Nyonto
dong! Kurang satu soal ini,” tanya Vino
“Emang hari ini ada
Kimia ya? Sebentar,” ujar Dre sembari membongkar tasnya.
Sial bagi Dre, ia tidak
menemukan buku bersampul Memphis Depay, penyerang MU, yang merupakan sampul
dari buku Kimia. Dengan panik ia geledah seluruh tasnya. Ternyata bukan hanya
Kimia yang tidak ia bawa bukunya, buku Biologi, Bahasa Jepang, dan Agama juga
luput ia bawa.
Benar saja, berbagai
macam bentuk hukuman mulai dari yang bersifat akademis seperti mengerjakan 100
soal Biologi dalam satu jam, hingga yang bersifat fisik menyapu halaman
belakang sekolahnga yang luasnya cukup untuk menampung 10 bis pariwisata. Ares
yang banyak menimpanya itu belum ditambah Bahasa Jepang di jam terakhir. Dre
tidak bisa membayangkan hukuman seperti apa yang akan diterima dari sensei-nya yang sedang hamil tua itu,
mungkin disuruh menulis cerpen dengan huruf Kanji keseluruhan.
"Huh dasar curut!
Guru tua aja sok-sokan ngehukum. Ngga sadar umur apa?" gerutu Dre sembari
menyapu. Sekali lagi, Dre tidak pernah salah. Maha benar Dre!
"Heh, apa kamu
bilang?"
Rupanya Dre tak sadar
pekerjaannya itu diawasi langsung oleh guru yang diumpat Dre tadi.
"Eh, enggak kok
bu, anu, tadi ada curut lewat!" sambial meringis Dre coba memelas
Namun Dre tak sadar,
dibalik gorden, sepasang mata hijau zamrud nan indah mengintai dengan awas
gerak-gerik dan segala tutur ucap Dre. Sang pemilik netra elok itu bernama
Evelyn Ranita, atau karib disapa Rani.Nama yang indah, seindah budinya. Sejak
kecil ia diajarkan orang tuanya agar berlaku jujur, apapun keadannya. Walaupun
diancam akan dihempaskan ke api yang berkobar, pantang baginya sepatah kata
dusta meluncur dari ucapnya
Demi melihat dan
mendengar percakapan antara Dre dan gurunya, jiwa putih Rani berontak. Ia tidak
terima dengan segala kebohongan yang Dre ucapkan, lebih-lebih perkataan Dre itu
merendahkan martabat guru. Dengan bergegas ia berlari ke BK, hendak mengadukan
hal yang baru saja ia lihat
"Huh... Curut
sialan! Jadi basah keringet kan!" keluh Dre sembari menghempaskan
pantatnya di kursi kelas
"Wahaha tukang
kebon kita udah selesai rupanya!" sahut Vino yang kembali dari kantin
"Dre, kamu
dipanggil BK"
Sekonyong-konyong tanpa
mereka sadari, sudah berdiri tegak seorang siswi sambil berkacak pinggang,
sambil menyungging senyum sinis penuh makna. Ya, dia adalah Rani
Bukan sekali ini Dre
dipanggil ke BK. Kebiasannya parkir di parkiran guru membuatnya kerap
'mengunjungi' ruangan yang terletak di sebelah UKS ini. Maka dengan santainya
ia langkahkan kakinya ke ruang BK. Ia masih sempat menyiul-nyiulkan
'Glory-Glory Man United' chant
kebanggan tim pujaannya. Namun entah kenapa ada yang berbeda dari pemanggilan
kali ini. Bulu kuduknya berdiri, padahal cuaca saat itu sangat panas. Sang
surya sedang berada pada di titik tertinggi orbitnya.
Begitu pintu BK
dibukanya, tampak di mata Dre kedua orangtuanya sedang berbincang serius dengan
guru BK. Mereka seperti tidak sadar akan kehadirannya. Setelah beberapa saat,
guru BK akhirnya memutuskan sesuatu yang membuat Papa dan Mama Dre tampak
begitu sedih. Perbincangan tiga manusia dewasa itu rupanya dicuri dengar oleh
Dre, yang sekarang hanya tercenung diam. Kini ia hanya bisa berdiri. Tanpa kata